Rabu, 30 Januari 2013

Perencanaan Fisik Pembangunan

Teori Perencanaan Pembangunan
Konsep dasar perencanaan adalah rasionalitas, ialah cara berpikir ilmiah dalam menyelesaikan problem dengan cara sistematis dan menyediakan berbagai alternatif solusi guna memperoleh tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu perencanaan sangat dipengaruhi oleh karakter masyarakat dalam mengembangkan budaya ilmiah dalam menyelesaikan Tugas Filsafat dan Teori Perencanaan Pembangunan 2 permasalahan yang dihadapinya. Hal ini cukup beralasan karena perencanaan juga berkaitan dengan pengambilan keputusan (decision maker), sedangkan kualitas hasil pengambilan keputusan berkorelasi dengan pengetahuan (knowledge), pengalaman (experience), informasi berupa data yang dikumpulkan oleh pengambil keputusan (ekskutor). Untuk lebih jelasnya dapat di lihat kembali pada kurva/grafik spatial data dan decesion.
Menurut friedmann, perencanaan akan berhadapan dengan problem mendasar yakni bagaimana teknis pengetahuan perencanaan yang efektif dalam menginformasikan aksi-aksi publik. Atas dasar tersebut maka perencanaan didefinisikan sebagai komponen yang menghubungkan antara pengetahuan dengan aksi/tindakan dalam wilayah publik. Pada prinsipnya friedmann menyatakan perencanaan harus bertujuan untuk kepentingan masyarakat banyak.

Disisi lain Campbell dan Fainstain (1999:1) menyatakan bahwa dalam pembangunan Kota atau daerah dipengaruhi sistem ekonomi kapitalis atau demokratis. Dalam konteks tersebut maka pada prakteknya perencanaan tidak dapat dipisahkan dengan suasana politik kota atau daerah sebab keputusan-keputusan publik mempengaruhi kepentinganlokal. Hal ini menjadi relevan apabila kekuasaan mempengaruhi perencanaan. Ketika perencanaan telah dipengaruhi oleh sistem politik suatu kota atau daerah sebagaiman pernyataan di atas, maka sebenarnya yang terjadi adalah wilayah rasional yang menjadi dasar dalam perencanaan telah kehilangan independensinya. Selanjutnya perencanaan akan menjadi tidak efektif dan efesien, bersifat mendua antara idealisme “kepakaran seorang perencana” atau mengikuti selera atau kemauan-kemauan, sehingga berimplikasi pada kualitas perencanaan dalam pencapaian goal (tujuan) dan objektif (sasaran) yang dituju.

Disamping itu karena perencanaan merupakan pekerjaan yang menyangkut wilayah publik maka komitmen seluruh pemangku kepentingan (stake holder) yang terlibat sangat dibutuhkan sehingga hasil perencanaan dapat dibuktikan dan dirasakan manfaatnya.



sumber : http://tkampus.blogspot.com/2012/01/perencanaan-pembangunan.html

Aspek Kegagalan Perencanaan Fisik Bangunan

Selama 1960 dan 1970 pembangunan pemerintah tertuang dalam bentuk proyek. Dengan menggunakan sumberdaya untuk menjadikan mata pencaharian yang lebih baik dan pertumbuhan ekonomi. Pada masa itu proyek juga diubah sesuai dengan anjuran para donor dengan memilih proyek yang terbaik dan direncanakan untuk jaminan hasil. Caranya dengan mencari informasi yang rasional dan menganalisa hubungannya. Hasil dan resiko dari alternatif yang berbeda adlah ramalan. Mengoptimalkan tindakan yang dipilih kemudian mengimplementasikannya. Evaluasi merupakan umpan balik pada tahap selanjutnya.

Proyek di negara yang pendapatan rendah membutuhkan bantuan dari asing. Keterlibatan pihak donor adalah untuk memusatkan dan menyiapkan proyek untuk menjamin bahwa investasi itu adil. Perencanaan yang menggunakan keuangan eksternal biasanya dilakukan oleh ahli perencanaan (ct:ekspatriat) dengan tekhnik yang canggih dengan mempertimbangkan cost-benefit dan resiko. Proyek yang disetujui kemudian diimplementasikan. Tidak semua proyek yang dijalankan berhasil terutama di daerah pedalaman karena hasil yang diperoleh jauh lebih kecil.

Hal-hal yang mempengaruhi kegagalan antara lain:
1. Masalah pembangunan yang mendasar
struktur di pedesaan yang buruk. Seorang tekhnokrat sebaiknya melakukan eksperimen dan interaksi terlebih dahulu
2. Kekurangan data
Di negara berkembang data yang reliable tidak tersedia
3. Ketidakpastian

Sering terjadi di negara berkembang. Metodologi konvensional memberikan sedikit uang sogokan untuk impact yang tiba-tiba terjadi (fisik,ekonomi,sosial)

1. Pemisahan antara perencana dan implementor
Pada tahun 1980 perencana mengakui adanya masalah dalam implementasi
2. Kurangnya partisipasi masyarakat sekitar
Keterlibatan masyarakat yang kurang dalam mengidentifikasi proyek, mengumpulkan data, men-design, dan pemilihan menyebabkan masyarakat tidak bisa berbuat banyak pada seluruh aktivitas proyek
3. Proyek dan politik
Metodologi konvensional berdasarkan pada analisis kerangka kerja yang normatif dengan mengabaikan faktor politik(Hulme).
Secara empiris pernyataan itu sangat lemah karena identifikasi, perencanaan, seleksi,dan implementasi benar-benar proses politik dimana terdapat agen bantuan, elit lokal, politisi, birokrat, dan kelompok kepentingan.
Pendekatan alternatif untuk perencanaan proyek dikemukakan oleh Dennis Rondinelli, yaitu;
  1. Penyesuaian administrasi
Menggunakan pendekatan eksperimental yang berupa perencanaan, implementasi, dan monitor. Alasannya karena tempat dimana proyek dioperasikan mempunyai resiko yang tinggi, terbatasnya informasi, ketidakpastian, dan manipulasi politik. Untuk ebih efektif diperlukan pembelajaran, eksperimen, kreativitas, fleksibilitas organisasi, dan akses terhadap pegetahuan lokal. Intervensi pembangunan dimulai dari skala kecil dengan mencari solusi dari masalah lokal. Kemudian mengembangkan tekhnologi agar dapat beradaptasi di lingkungan manapun. Jika berhasil maka proyek ini dapat didemonstrasikan dan dikembangkan untuk mengganti proyek yang konvensional. Aktor, donor, dan lembaga bantuan asing sebaiknya mengubah fokus untuk 3-5 tahun ke depan agar lebih fleksibel,eksperimen yang terbuka serta menggabungkan antara perencana dan implementor. Cara ini mendapat dukungan dari masyarakat sekitar. Namun agen dan politisi lebih menyukai cara kilat dalam menyelesaiakn masalah pembangunan.

2. Partisipasi masyarakat
Cara ini bisa dilakukan dengan meminta bantuan dari NGO untuk menerjunkan aktivisnya ke lapangan dan bergaul dengan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan melibatkannya dalam perencanaan proyek agar tepat sasaran.
Pendekatan yang digunakan untuk perencanaan harus mengakui pengetahuan yang terbatas, informasi yang tidak menyeluruh, ketidakpastian dan pertimbangan resiko, kapasitas analisis, kelangkaan sumber daya dan perencanaan yang sudah menjadi bagian sifat dari proses politik.

ANALISIS
Selama beberapa dekade perencanaan mengalami kegagalan dan mendapat kritikan yang keras dari berbagai kalangan. Namun pada dasarnya sebuah perencanaan itu perlu dilakukan sebelum proyek dilaksanakan karena perencanaan merupakan sarana komunikasi dari perencana kepada implementor. Selain itu perencanaan juga memberikan batasan terhadap proyek yang akan dikerjakan.

Kegagalan yang terjadi bisa dari perencana atau implementor (biasanya agen pemerintah). Perencana terkadang kurang melakukan analisis dan identifikasi menyeluruh. Sehingga apa yang tertuang dalam draft perencanaan sulit direalisasikan oleh implementor. Ketidaklengkapan data juga menjadikan pemahaman kabur dan tidak jelas. Hal ini sebenarnya bisa dipahami karena keterbatasan manusia dalam memahami keadaan lingkungan di sekitarnya. Bisa juga karena hal lain yaitu keterbatasan waktu dan biaya. Sedangkan kesalahan yang terjadi pada implementor adalah ketidak konsistenan implementor terhadap wewenang yang diberikan. Alasan-alasan politis dan ekonomi mewarnai distorsi dalam implementasi suatu proyek. Dimana proyek merupakan cara untuk mensejahterakan masyarakat tetapi bagi para implementor atau politisi hal ini dijadikan lahan finansial yang diperebutkan. Distorsi ini tidak sepenuhnya kesalahan implementor. Para implementor yang bekerja di bawah Undang-Undang sering mengalami ambiguitas sehingga harus memilih salah satu cara yang terbaik untuk merealisasikan proyek. Hal-hal seperti ini yang seringkali menimbulkan kesalahpahaman antara perencana dan implementor.

Jika perencana dan implementor dijadikan satu maka realisasi proyek terlihat idealis karena menekankan pada ambisi perencana. Cara ini mungkin hanya bisa direalisasikan di lingkungan yang homogen tetapi tidak bisa dilaksanakan di lingkungan yang heterogen. Masyarakat mempunyai kepentingan yang berbeda-beda secara politis, ekonomi, dan sosial. Oleh karena itu diperlukan lembaga monitoring agar implementasi dapat mencapai tujuannya. Monitoring dari masyarakat merupakan wujud pemberdayaan dimana masyarakat tidak hanya menjadi penonton di lingkungannya sendiri.

Perencanaan pembangunan yang terjadi selama ini hanya menitikberatkan pada sektor ekonomi. Sehingga terjadi eksplorasi besar-besaran dimanapun baik itu SDM maupun SDA. Faktor ekonomi bisa menjadi kekuatan bangsa jika didukung pula oleh SDM yang berkualitas. Jika tidak, seperti di negara-negara dunia ketiga, eksplorasi SDA merupakan lahan bagi negara-negara maju. Disinilah kesulitan negara berkembang untuk mengejar ketertinggalan dari negara maju karena ketidakmampuan dalam mengelola sektor-sektor vital yang mendatangkan keuntungan secara ekonomis. Keinginan negara berkembang untuk mengejar ketertinggalan ekonomi menyebabkan pemerintah lupa untuk mengembangkan kemampuan SDMnya.

Padahal aset suatu negara adalah SDM yang pada masa sekarang ini prestasinya kurang dihargai.
Keberhasilan pembangunan ekonomi dan fisik di Indonesia pada masa lalu didukung oleh kestabilan faktor politik. Begitupun di beberapa negara berkembang lainnya. Hal ini jugalah yang mendasari keberhasilan pembangunan di Uni Soviet sebelum negara federasinya terpecah-pecah seperti sekarang. Pada saat ini banyak negara yang berasas kapitalis berubah menjadi negara demokrasi. Sehingga kekuatan yang tumbuh di masyarakat sulit untuk dibendung yang mengakibatkan ketidakstabilan politik. Masyarakat bebas melakukan apapun tetapi tidak ada jaminan kesejahteraan hidup. Di satu sisi pemberdayaan masyarakat itu baik karena aspirasi masyarakat tersalurkan. Tetapi di sisi lain pemberdayaan dapat menghambat pembangunan. Tingkat kepekaan, dan intelektualitas masyarakat yang berbeda-beda dapat menimbulkan pertentangan karena pemahamannya yang berbeda.

Intervensi lembaga donor dan antuan asing tidak selamanya membantu pembangunan di negara berkembang. Bahkan bisa menimbulkan ketergantungan secara finansial. Kegagalan pembangunan dengan bantuan pihak asing bisa juga karena masalah internal yaitu maraknya praktek-praktek korupsi di kalangan pejabat pemerintahan. Untuk memberantasnya diperlukan komitmen yang besar dari pemerintah maupun lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah yang bertugas menyelesaikan masalah ini. Selain itu situasi politik di negara berkembang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap sektor perekonomian karena menyangkut keamanan dan jaminan masa depan. Dengan adanya lembaga donor maka kebijakan-kebijakan pemerintah yang dibuat juga harus menyesuaikan dengan kebijakan lembaga donor. Terkadang hal ini malah menimbulkan ekspansi besar-besaran dari lembaga donor. Negara penerima bantuan hanya dijadikan sebagai lahan.

Tidak ada teori perencanaan yang paling efektif yang ada hanyalah perencanaan yang paling sesuai. Hal ini yang sering kurang dipahami oleh perencana dan implementor. Mereka masih menganggap bahwa masyarakat adalah objek yang bisa diatur dan proyek sepenuhnya adalah urusan pemerintah. Dalam perkembangannya pemerintah tidak menyadari ketidakpuasan masyarakat akan menimbulkan kekacauan yang berdampak pada berbagai sektor antara lain keamanan, politik, dan ekonomi. Selama ini pemerintah terlena dengan proyek-proyek ambisiusnya dan kurang memperhatikan masyarakat yang menjadi korban.
Teori perencanaan baik untuk dijadikan dasar tetapi tidak sepenuhnya baik untuk diimplementasikan. Perlu observasi yang lebih mendalam agar proyek tidak menimbulkan kerugian bagi pihak manapun. Terutama di Indonesia yang masyarakatnya sangat kompleks sehingga perlu adaptasi bagi pelaksanaan implementasi proyek. Di dalam masyarakat yang sebagian besar berpendidikan proses implementasinya harus dibedakan dengan lingkungan yang sebagian besar masyarakatnya kurang berpendidikan.

 Masyarakat yang berpendidikan lebih fleksibel dan lebih mudah menerima perubahan karena bisa memanfaatkan peluang-peluang dengan adanya perubahan tersebut. Sedangkan pada masyarakat yang masih tradisional dan kurang berpendidikan, implementasi proyek lebih sulit karena masyarakatnya masih ortodox dan mudah diprovokasi. Memberikan tambahan pengetahuan lebih mudah daripada mengubah kebiasaan masyarakat.

Keberhasilan perencanaan pembangunan dilihat pada tahap evaluasi. Jika feedback dan respon dari sebagian besar masyarakat adalah positif berarti proyek ini berhasil. Tetapi bila sebaliknya maka perlu dilakukan pembenahan-pembenahan. Mengusulkan proyek yang baru bukanlah cara yang efektif untuk menyelesaikan masalah. Sebaiknya tetap melanjutkan proyek yang lama dengan adaptasi dan perubahan seperlunya. Selain dapat mengefisienkan anggaran cara ini bisa menjadi tolok ukur komitmen pemerintah terhadap pembangunan dengan mewujudkan aspirasi masyarakat.
(tugas Manajemen Proyek, 2006)

sumber : http://melastory.wordpress.com/2010/07/14/perencanaan-pembangunan-suatu-solusi-atau-masalah/

Penerapan UU no 4 tahun 1992

Ancaman Dari UU Pemukiman

DPR didesak menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perumahan dan Permukiman (Perkim) yang akan merevisi UU No.4 Tahun 1992 tentang Perkim. Pasalnya, draf revisi UU Perkim ini tidak mencerminkan rasa keadilan rakyat dalam mengakses fasilitas perumahan sebagai hak dasar yang dijamin dalam konstitusi.

Hal itu dinyatakan Ketua Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman dari Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung (ITB) M Johansyah Siregar dalam Diskusi Kajian RUU Perkim di Jakarta.

Jehansyah berpendapat, draf RUU Perkim yang terdiri dari 18 bab dan 133 pasal seperti ajang proyek perumahan, bukan dalam kerangka pengembangan sistem penyediaan perumahan.

Menurutnya, draf RUU ini hanya berisi perencanaan, rancangan rumah dan jenis-jenis rumah yang bisa dibangun, tapi tidak jelas siapa atau lembaga mana yang bertugas menjalankan peranan pokok dan fungsinya.

"Isi UU semacam itu bisa diinterpretasikan sebagai sebuah landasan untuk menjustifikasi terbalik karena hanya bersifat project oriented" katanya.
Selain itu, kata dia, isi revisi

UU 4 Tahun 1992 itu juga banyak bertentangan dengan arsitektur UU Perumahan yang berlaJcu secarauniversal sehingga berpotensi kian mengerdilkan peran lembaga perumahan dan membuat semrawut tata ruang perkotaan.

Jika DPR tetap mengesahkan RUU tersebut pada tahun ini, para praktisi dan pengamat perumahan mengkhawatirkan terjadinya ketimpangan pasar yang kian melebar di segmen rumah sejahtera bagi rakyat berpenghasilan rendah. RUU Perkim ini diklaim hanya mewakili kepentingan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas.

Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Fuad Zakariajuga khawatir jika RUU Perkim disahkan bisa memberangus kewenangan Perum Perumnas, salah satu BUMN sebagai penyedia perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Fuad menegaskan, jika pemerintah memiliki political will dalam menanggulangi masalah kelangkaan ketersediaan fasilitas perumahan, solusi yang paling ideal dengan memberdayakan Perum Perumnas.
Sebab, sebagai entitas bisnis yang sudah ada sejak lama. Perumnas dipastikan telah menguasai segmen usaha yang akan menopang target penyediaan rumah.

sumber : http://brigitacitra.blogspot.com/2011/10/uu-no-4-tahun-1992-tentang-perumahan.html

Masalah Kelembagaan Penataan Ruang

Masalah kelembagaan dalam Penataan Ruang, lanjutan dari pembahasan mengenai masalah tata ruang lainnya yang sudah di bahas di catatan - catatan sebelumnya yaitu masalah kerugian pribadi akibat tata ruangmasalah tata ruang dari sisi ideologi politik, kekuatan politik, kelestarian lingkungan, pengelolaan pertanahan, penyediaan prasarana, serta yang terakhir sebelumnya menyangkut pendanaan serta penegakan hukum. Masalah tata ruang terkait dengan kelembagaan yaitu sebagai berikut :
  1. Belum efektifnya TKPRD (Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah) Propinsi dan Kabupaten/Kota
    • TKPRD yang terdapat di tingkat Propinsi dan tingkat Kabupaten/Kota selr5ama ini baru berfungsi pada aspek penyusunan rencana tata ruang, itupun belum di semua daerah aktif berperan. Sedangkan pada 2 aspek yang lain dari penataan ruang, yaitu aspek pemanfaatan ruang dan aspek pengendalian pemanfaatan ruang belum nampak peranan TKPRD. Peranan secara aktif dari TKPRD tersebut mutlak diperlukan sejak dari tahap awal yaitu penyusunan perencanaan, pemanfaatan ruang sampai dengan pengendalian pemanfaatan ruang. Kelemahan TKPRD saat ini adalah belum bakunya prosedur kerja dan kewenangan dari tim tersebut di dalam tugasnya sehari - hari.
  2. Partisipasi masyarakat masih kurang
    • Belum difektifkannya peran serta masyarakat dalam setiap tahapan penyusunan rencana tata ruang sampai kepada pelaksanaan/pengetrapan di lapangan. Konsep Participatory Planning mutlak di terapkan di dalam sistem perencanaan saat ini. 
  3. Kurangnya koordinasi penataan ruang
    • Koordinasi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang baik secara instansional maupun dengan lembaga masyarakat belum berjalan secara baik. Misalnya, pengaspalan jalan tidak terpadu dengan penanaman kabel telepon, kabel listrik atau pipa air minum. Disamping itu, antar lembaga/instansi pemerintah yang melakukan pengendalian kadang - kadang juga terjadi konflik dan tidak sejalan di dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Misalnya, pada daerah - daerah yang telah ditetapkan sebagai jalur hijau atau pendudukan tanah secara liar (squatters) tetap saja pelayanan fasilitas kota tetap diadakan.
  4. Lemah atau kurangnya wadah/lembaga untuk menampung aspirasi masyarakat
    • Untuk menunjang keberhasilan rencana tata ruang terutama dari tahap penyusunan sampai dengan tahap pengendalian pemanfaatan ruang perlu partisipasi masyarakat. Wadah/lembaga tersebut antara lain dapat berupa organisasi sosial kemasyarakatan maupun LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang khusus aktif di bidang penataan ruang. Sedangkan lembaga - lembaga masyarakat yang ada masih belum berfungsi di dalam partisipasi penataan ruang.
  5. Belum tersedianya sistem informasi tata ruang yang lengkap
    • Di setiap tahapan penataan ruang perlu dukungan sistem informasi yang berkaitan dengan dinamikan penggunaan ruang di lapangan. Sistem tersebut mencakup data, peta, prosedur kerja, perkembangan pemafaatan ruang, penyediaan ruang dan sebagainya.

sumber : http://dokter-kota.blogspot.com/2012/10/masalah-kelembagaan-penataan-ruang.html

Contoh kasus AMDAL


AMDAL Hambalang dan Persoalan Klasik Pelecehan UU 32/2009

Permasalahan klasik AMDAL seperti kegiatan konstruksi sudah dimulai sebelum izin lingkungannya terbit tetap terjadi. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang sudah tegas menyebutkan ada sanksi pidana bagi pelanggarnya tetap saja tanpa taji.
Kasus Hambalang adalah salah satunya. Meskipun izin lingkungannya belum ada karena dokumen AMDALnya belum kelar pembangunan tetap dilaksanakan. Berita terbaru Media Indonesia menyebutkan bahwa Kemenpora baru mengajukan permohonan kepada Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor. Sementara itu, instansi yang bersangkutan melalui juru bicara Bupati Bogor, David Rizar Nugroho, mengatakan pihaknya saat ini belum mengeluarkan surat AMDAL untuk proyek Hambalang. Artinya AMDALnya memang belum selesai.

Kasus Hambalang bukan satu-satunya pelecehan terhadap UU 32/2009 tersebut. Pada Rakornas AMDAL beberapa tahun yang lalu, KLH mengeluhkan bahwa pelanggar-pelanggar tersebut kebanyakan adalah proyek-proyek pemerintah. KLH tidak bisa menghentikan kegiatan-kegiatan yang melanggar tersebut karena tidak memiliki kewnangan. Apalagi sebagian adalah kegiatan pembangunan infrastruktur yang sangat penting untuk masyarakat, seperti pelabuhan, jalan dan sebagainya. 

Instansi teknis pelaksana proyek-proyek tersebut menganggap AMDAL sebagai penghambat pembangunan dan berlindung di balik alasan kepentingan masyarakat yang mendesak. Ketika proyek tersebut mendatangkan bencana, KLH selalu menjadi pihak yang disalahkan karena dinilai tidak memantau pelaksanaan AMDALnya dengan baik.

Sungguh ironis, ketika hukum akan ditegakkan, pemerintah sendiri yang justru melecehkan hukum yang dibuatnya sendiri. UU 32/2009 bagai macan ompong tak berkharisma. Padahal pasal 109 UU di atas menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan dapat dipidanakan.

Dengan kondisi demikian, apakah pemerintah juga bisa tegas menindak pelanggar-pelanggar hukum lingkungan yang lain? Perusahaan-perusahaan swasta yang operasinya berpengaruh signifikan terhadap alam perlu mendapat contoh tauladan dari pemimpinnya.
Mudah-mudahan kasus Hambalang bisa menyadarkan para pemangku jabatan di negeri ini sehingga alam tidak menegur kita melalui bencana-bencana yang beruntun terjadi.

Sumber Berita :

http://www.mediaindonesia.com/read/2012/06/01/323378/284/1/Hambalang-belum-Punya-Amdal

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)

AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan di Indonesia. AMDAL ini dibuat saat perencanaan suatu proyek yang diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Yang dimaksud lingkungan hidup di sini adalah aspek Abiotik, Biotik, dan Kultural. Dasar hukum AMDAL adalah Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang "Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup".


DOKUMEN AMDAL TERDIRI DARI 
  • Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
  • Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
  • Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
  • Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)
AMDAL digunakan untuk:
  • Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah
  • Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan
  • Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau kegiatan
  • Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
  • Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL adalah:
  • Komisi Penilai AMDAL, komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL
  • Pemrakarsa, orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan, dan
  • masyarakat yang berkepentingan, masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL.
Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
  1. Penentuan kriteria wajib AMDAL, saat ini, Indonesia menggunakan/menerapkan penapisan 1 langkah dengan menggunakan daftar kegiatan wajib AMDAL (one step scoping by pre request list). Daftar kegiatan wajib AMDAL dapat dilihat di Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006
  2. Apabila kegiatan tidak tercantum dalam peraturan tersebut, maka wajib menyusun UKL-UPL, sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 Tahun 2002
  3. Penyusunan AMDAL menggunakan Pedoman Penyusunan AMDAL sesuai dengan Permen LH NO. 08/2006
  4. Kewenangan Penilaian didasarkan oleh Permen LH no. 05/2008

 AMDAL mulai berlaku di Indonesia tahun 1986 dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1086. Karena pelaksanaan PP No. 29 Tahun 1986 mengalami beberapa hambatan yang bersifat birokratis maupun metodologis, maka sejak tanggal 23 Oktober 1993 pemerintah mencabut PP No. 29 Tahun 1986 dan menggantikannya dengan PP No. 51 Tahun 1993 tentang AMDAL dalam rangka efektivitas dan efisiensi pelaksanaan AMDAL. Dengan diterbitkannya Undang-undang No. 23 Tahun 1997, maka PP No. 51 Tahun 1993 perlu disesuaikan. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1999, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999. Melalui PP No. 27 Tahun 1999 ini diharapkan pengelolaan lingkungan hidup dapat lebih optimal.